- Home >
- Rapor Tanpa Angka
MULAI tahun 2014 siswa sekolah dasar (SD) pasti naik kelas. Bentuk
penilaian di rapor SD juga berubah. Hasil evaluasi pembelajaran yang
tertera di rapor bukan lagi berupa angka-angka, tetapi berbentuk
deskripsi yang mencakup sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Bagi siswa
yang belum memahami pelajaran, meskipun naik kelas, akan diberikan
remedial. Terkait dengan rencana kebijakan pemerintah (Kemdikbud) ini,
Tajuk Rencana KR (3/12) menyebutnya sebagai era pendidikan afektif.
Kebijakan Kemdikbud terkait rapor tanpa angka, sebenarnya merupakan
konsekuensi dari implementasi Kurikulum 2013. Seperti diketahui, esensi
Kurikulum 2013 adalah adanya peningkatan dan keseimbangan pada aspek
sikap, keterampilan, dan pengetahuan untuk membangun soft skills dan
hard skills.
Ketiga aspek ini terus dikembangkan sejak SD
hingga perguruan tinggi, dengan penekanan berbeda. Mengutip pendapat
Marzano (1985) dan Bruner (1960), dalam Kerangka Dasar dan Struktur
Kurikulum 2013 dijelaskan bahwa pembelajaran di jenjang SD lebih
menekankan pada aspek sikap. Pada jenjang yang lebih tinggi, aspek
pembentukan sikap ini porsinya semakin dikurangi. Sebaliknya, setelah
jenjang SD aspek keterampilan dan pengetahuan semakin ditingkatkan. Oleh
karena itu, pada jenjang SD pembentukan sikap seperti menerima,
menjalankan, menghargai, dan mengamalkan harus lebih diutam kan. Pada
jenjang SD aspek pengetahuan dan keterampilan memiliki porsi yang sangat
sedikit. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa pelajaran IPA di
SD diajarkan secara tematik-integratif.
Ada sejumlah persoalan
yang perlu diantisipasi terkait kebijakan rapor tanpa angka. Pertama,
nilai rapor selama ini dapat digunakan sebagai pembeda kemampuan
akademik siswa. Artinya, nilai rapor menunjukkan peta kemampuan siswa di
kelas. Siswa yang memiliki nilai rapor 8 pada pelajaran matematika, ia
memiliki kemampuan matematika yang lebih baik daripada siswa yang
memiliki nilai rapor 6. Siswa dapat memahami nilai- nilai yang ada di
rapor dengan mudah. Jika penilaian rapor berbentuk deskriptif-naratif,
guru harus pandai membuat narasi. Guru harus menyiapkan diri menjadi
narator yang baik. Narasi yang dibuat juga harus mencerminkan kualitas
akademik siswa. Setiap siswa memiliki karakteristik tertentu, sehingga
narasi setiap siswa harus unik, berbeda satu sama lain.
Kedua,
sebagaimana dijelaskan Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemdikbud,
Ramon Mohandas, penilaian narasi dalam rapor harus menggunakan bahasa
positif mengingat siswa SD masih dalam kategori usia emas. Bahasa narasi
harus mampu memberi motivasi siswa untuk meningkatkan kemampuan
akademiknya. Meskipun demikian, bentuk narasi harus mencerminkan
kemampuan siswa dalam menguasai materi pembelajaran.
Artinya,
meskipun disajikan dengan bahasa positif, narasi perlu menyajikan
kelebihan dan kekurangan siswa. Dalam setiap pelajaran perlu disebutkan
beberapa topik yang sudah/belum dikuasai siswa. Misalnya, siswa sudah
bisa melakukan operasi perkalian namun masih perlu berlatih dengan tekun
dalam operasi pembagian. Siswa belum mampu membedakan tumbuhan dikotil
dan monokotil. Nah, di sini pentingnya sekolah (guru) menjalin
komunikasi dengan orangtua. Tingkat pendidikan orangtua siswa sangat
heterogen, sehingga tidak semua orangtua mudah memahami rapor tanpa
angka. Sebagian besar orangtua mungkin asing dengan istilah tumbuhan
dikotil dan monokotil. Sekolah perlu memberi penjelasan kepada orangtua
terkait pencapaian akademik siswa. Hal ini berbeda dengan nilai rapor
yang berisi angka - angka. Ketika anak mendapat nilai 6 dalam pelajaran
matematika, orangtua sudah bisa memahami kemampuan anak.
Ketiga, kebijakan siswa pasti naik kelas perlu segera disosialisasikan
kepada siswa dan orangtua. Selama ini anak selalu didorong oleh
orangtuanya untuk belajar dengan tekun supaya naik kelas dan memperoleh
nilai baik. Kebijakan siswa pasti naik kelas jangan sampai membuat anak
menjadi malas belajar. Jangan sampai anak memiliki pemikiran, untuk apa
belajar toh pasti naik kelas ? Sekolah perlu mengkondisikan supaya anak
tetap tekun belajar. Di samping itu, sekolah juga perlu terus menanamkan
semangat kompetisi pada anak.
Keempat, untuk siswa yang belum
memahami pelajaran, meskipun naik kelas, akan diberikan remedial. Jadi,
guru harus mengikuti perkembangan anak sehingga mengetahui beberapa
topik yang belum dikuasai. Hal ini merupakan tantangan profesionalisme
guru sebagai pendidik. Setiap anak memiliki bakat dan kemampuan yang
berbeda dalam menyerap materi pelajaran, sehingga setiap anak boleh jadi
mengikuti program remedial yang berbeda-beda. Singkatnya, program
remedial pasti akan menambah beban pekerjaan guru.
Sebelum
kebijakan rapor tanpa angka diberlakukan, sejumlah persoalan yang
mungkin timbul perlu diantisipasi. Kita berharap se moga kebijakan baru
tidak menimbulkan persoalan baru.
Bambang Ruwanto, Dosen Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA UNY
http://krjogja.com/liputan-khusus/opini/2461/rapor-tanpa-angka.kr