Popular Post

Popular Posts

Posted by : Unknown Saturday, December 20, 2014

https://www.google.com/search?q=rapor+tanpa+angka&client=firefox-a&hs=v8G&rls=org.mozilla:en-US:official&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ei=_jCVVPDPIM7JuASpxYLYCQ&ved=0CAgQ_AUoAQ&biw=1366&bih=665#facrc=_&imgdii=_&imgrc=IEvb1lVAkRg-xM%253A%3Bgoh4NbOJF_ZfwM%3Bhttp%253A%252F%252Fimages.solopos.com%252F2011%252F06%252F18rapor.jpg%3Bhttp%253A%252F%252Fwww.solopos.com%252F2013%252F12%252F03%252Fnilai-rapor-tanpa-angka-belum-ada-sosialisasi-di-diy-470821%3B640%3B425MULAI tahun 2014 siswa sekolah dasar (SD) pasti naik kelas. Bentuk penilaian di rapor SD juga berubah. Hasil evaluasi pembelajaran yang tertera di rapor bukan lagi berupa angka-angka, tetapi berbentuk deskripsi yang mencakup sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Bagi siswa yang belum memahami pelajaran, meskipun naik kelas, akan diberikan remedial. Terkait dengan rencana kebijakan pemerintah (Kemdikbud) ini, Tajuk Rencana KR (3/12) menyebutnya sebagai era pendidikan afektif. Kebijakan Kemdikbud terkait rapor tanpa angka, sebenarnya merupakan konsekuensi dari implementasi Kurikulum 2013. Seperti diketahui, esensi Kurikulum 2013 adalah adanya peningkatan dan keseimbangan pada aspek sikap, keterampilan, dan pengetahuan untuk membangun soft skills dan hard skills.

Ketiga aspek ini terus dikembangkan sejak SD hingga perguruan tinggi, dengan penekanan berbeda. Mengutip pendapat Marzano (1985) dan Bruner (1960), dalam Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013 dijelaskan bahwa pembelajaran di jenjang SD lebih menekankan pada aspek sikap. Pada jenjang yang lebih tinggi, aspek pembentukan sikap ini porsinya semakin dikurangi. Sebaliknya, setelah jenjang SD aspek keterampilan dan pengetahuan semakin ditingkatkan. Oleh
karena itu, pada jenjang SD pembentukan sikap seperti menerima, menjalankan, menghargai, dan mengamalkan harus lebih diutam kan. Pada jenjang SD aspek pengetahuan dan keterampilan memiliki porsi yang sangat sedikit. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa pelajaran IPA di SD diajarkan secara tematik-integratif.

Ada sejumlah persoalan yang perlu diantisipasi terkait kebijakan rapor tanpa angka. Pertama, nilai rapor selama ini dapat digunakan sebagai pembeda kemampuan akademik siswa. Artinya, nilai rapor menunjukkan peta kemampuan siswa di kelas. Siswa yang memiliki nilai rapor 8 pada pelajaran matematika, ia memiliki kemampuan matematika yang lebih baik daripada siswa yang memiliki nilai rapor 6. Siswa dapat memahami nilai- nilai yang ada di rapor dengan mudah. Jika penilaian rapor berbentuk deskriptif-naratif, guru harus pandai membuat narasi. Guru harus menyiapkan diri menjadi narator yang baik. Narasi yang dibuat juga harus mencerminkan kualitas akademik siswa. Setiap siswa memiliki karakteristik tertentu, sehingga narasi setiap siswa harus unik, berbeda satu sama lain.

Kedua, sebagaimana dijelaskan Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemdikbud, Ramon Mohandas, penilaian narasi dalam rapor harus menggunakan bahasa positif mengingat siswa SD masih dalam kategori usia emas. Bahasa narasi harus mampu memberi motivasi siswa untuk meningkatkan kemampuan akademiknya. Meskipun demikian, bentuk narasi harus mencerminkan kemampuan siswa dalam menguasai materi pembelajaran.

Artinya, meskipun disajikan dengan bahasa positif, narasi perlu menyajikan kelebihan dan kekurangan siswa. Dalam setiap pelajaran perlu disebutkan beberapa topik yang sudah/belum dikuasai siswa. Misalnya, siswa sudah bisa melakukan operasi perkalian namun masih perlu berlatih dengan tekun dalam operasi pembagian. Siswa belum mampu membedakan tumbuhan dikotil dan monokotil. Nah, di sini pentingnya sekolah (guru) menjalin komunikasi dengan orangtua. Tingkat pendidikan orangtua siswa sangat heterogen, sehingga tidak semua orangtua mudah memahami rapor tanpa angka. Sebagian besar orangtua mungkin asing dengan istilah tumbuhan dikotil dan monokotil. Sekolah perlu memberi penjelasan kepada orangtua terkait pencapaian akademik siswa. Hal ini berbeda dengan nilai rapor yang berisi angka - angka. Ketika anak mendapat nilai 6 dalam pelajaran matematika, orangtua sudah bisa memahami kemampuan anak.

Ketiga, kebijakan siswa pasti naik kelas perlu segera disosialisasikan kepada siswa dan orangtua. Selama ini anak selalu didorong oleh orangtuanya untuk belajar dengan tekun supaya naik kelas dan memperoleh nilai baik. Kebijakan siswa pasti naik kelas jangan sampai membuat anak menjadi malas belajar. Jangan sampai anak memiliki pemikiran, untuk apa belajar toh pasti naik kelas ? Sekolah perlu mengkondisikan supaya anak tetap tekun belajar. Di samping itu, sekolah juga perlu terus menanamkan semangat kompetisi pada anak.

Keempat, untuk siswa yang belum memahami pelajaran, meskipun naik kelas, akan diberikan remedial. Jadi, guru harus mengikuti perkembangan anak sehingga mengetahui beberapa topik yang belum dikuasai. Hal ini merupakan tantangan profesionalisme guru sebagai pendidik. Setiap anak memiliki bakat dan kemampuan yang berbeda dalam menyerap materi pelajaran, sehingga setiap anak boleh jadi mengikuti program remedial yang berbeda-beda. Singkatnya, program remedial pasti akan menambah beban pekerjaan guru.

Sebelum kebijakan rapor tanpa angka diberlakukan, sejumlah persoalan yang mungkin timbul perlu diantisipasi. Kita berharap se moga kebijakan baru tidak menimbulkan persoalan baru.

Bambang Ruwanto, Dosen Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA UNY





http://krjogja.com/liputan-khusus/opini/2461/rapor-tanpa-angka.kr

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Pendidikan Guru Sekolah Dasar - Devil Survivor 2 - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -