Recent post
Archive for December 2014
Merdeka.com - Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah menampik tudingan menolak penerapan Kurikulum 2013 (K-13) di sekolah tapi hanya menunda sampai semua perangkatnya siap. Tetapi, menurut penelitian dan pemerhati pendidikan Abduh Zen meminta supaya jeda penundaan itu tidak terlampau lama karena dikhawatirkan akan menimbulkan kesenjangan hasil pendidikan.
Dalam acara diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, Sabtu (13/12), Abduh menyatakan penundaan ini adalah buntut dari adanya ketidaksesuaian antara ide, desain kurikulum, dan isi buku. Bahkan dia mengatakan keputusan Mendikdasmen Anies Baswedan tepat meski banyak dikritik. Tetapi, dia memberikan catatan soal itu.
"Bisa saja ditunda asal penundaannya tidak terlalu lama. Kalau terlalu lama akan menghasilkan dualisme dan berdampak kepada hasil pendidikan," kata Abduh.
Menurut Abduh, persoalan terjadi di lapangan memang bisa diperbaiki, sebab menurut dia inti K-13 memang cukup baik buat mengubah proses pendidikan Indonesia. Hanya saja menurut dia masih ada kekurangan antara asumsi ide, substansi kurikulum, argumentasi, dan implementasinya di lapangan.
"Harus ditegaskan K-13 ini tidak dihentikan. Substansinya revisi. Ini keputusan yang sulit. Ini akan menghasilkan dualisme. Kalau singkat saya pikir enggak apa-apa, tapi ini kan sepertinya relatif panjang. Karena menteri maunya perubahan mendasar. Perubahan mendasar jangan dihentikan," ujar Abduh.
Sementara itu, Juru Bicara Kemendikdasmen Prof. Ibnu Hamad menyatakan Menteri Anies hanya menyarankan supaya sekolah-sekolah yang baru menjalankan K-13 selama satu semester sebaiknya dihentikan sementara. Tetapi, bagi sekolah yang sudah tiga semester menerapkan K-13 maka bisa dilanjutkan. Dia pun mengakui, sampai saat ini ada 6621 sekolah memilih tetap menggunakan K-13.
"Tapi jangan lupa. Yang 6621 sekolah yang lanjut ini sekolah yang punya predikat RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional). Yang dikenal unggul dan akan meneruskan K-13 dengan segala fasilitas," lanjut Abduh.
http://www.merdeka.com/peristiwa/penundaan-kurikulum-2013-diminta-tak-terlampau-lama.html
MULAI tahun 2014 siswa sekolah dasar (SD) pasti naik kelas. Bentuk
penilaian di rapor SD juga berubah. Hasil evaluasi pembelajaran yang
tertera di rapor bukan lagi berupa angka-angka, tetapi berbentuk
deskripsi yang mencakup sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Bagi siswa
yang belum memahami pelajaran, meskipun naik kelas, akan diberikan
remedial. Terkait dengan rencana kebijakan pemerintah (Kemdikbud) ini,
Tajuk Rencana KR (3/12) menyebutnya sebagai era pendidikan afektif.
Kebijakan Kemdikbud terkait rapor tanpa angka, sebenarnya merupakan
konsekuensi dari implementasi Kurikulum 2013. Seperti diketahui, esensi
Kurikulum 2013 adalah adanya peningkatan dan keseimbangan pada aspek
sikap, keterampilan, dan pengetahuan untuk membangun soft skills dan
hard skills.
Ketiga aspek ini terus dikembangkan sejak SD hingga perguruan tinggi, dengan penekanan berbeda. Mengutip pendapat Marzano (1985) dan Bruner (1960), dalam Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013 dijelaskan bahwa pembelajaran di jenjang SD lebih menekankan pada aspek sikap. Pada jenjang yang lebih tinggi, aspek pembentukan sikap ini porsinya semakin dikurangi. Sebaliknya, setelah jenjang SD aspek keterampilan dan pengetahuan semakin ditingkatkan. Oleh
karena itu, pada jenjang SD pembentukan sikap seperti menerima, menjalankan, menghargai, dan mengamalkan harus lebih diutam kan. Pada jenjang SD aspek pengetahuan dan keterampilan memiliki porsi yang sangat sedikit. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa pelajaran IPA di SD diajarkan secara tematik-integratif.
Ada sejumlah persoalan yang perlu diantisipasi terkait kebijakan rapor tanpa angka. Pertama, nilai rapor selama ini dapat digunakan sebagai pembeda kemampuan akademik siswa. Artinya, nilai rapor menunjukkan peta kemampuan siswa di kelas. Siswa yang memiliki nilai rapor 8 pada pelajaran matematika, ia memiliki kemampuan matematika yang lebih baik daripada siswa yang memiliki nilai rapor 6. Siswa dapat memahami nilai- nilai yang ada di rapor dengan mudah. Jika penilaian rapor berbentuk deskriptif-naratif, guru harus pandai membuat narasi. Guru harus menyiapkan diri menjadi narator yang baik. Narasi yang dibuat juga harus mencerminkan kualitas akademik siswa. Setiap siswa memiliki karakteristik tertentu, sehingga narasi setiap siswa harus unik, berbeda satu sama lain.
Kedua, sebagaimana dijelaskan Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemdikbud, Ramon Mohandas, penilaian narasi dalam rapor harus menggunakan bahasa positif mengingat siswa SD masih dalam kategori usia emas. Bahasa narasi harus mampu memberi motivasi siswa untuk meningkatkan kemampuan akademiknya. Meskipun demikian, bentuk narasi harus mencerminkan kemampuan siswa dalam menguasai materi pembelajaran.
Artinya, meskipun disajikan dengan bahasa positif, narasi perlu menyajikan kelebihan dan kekurangan siswa. Dalam setiap pelajaran perlu disebutkan beberapa topik yang sudah/belum dikuasai siswa. Misalnya, siswa sudah bisa melakukan operasi perkalian namun masih perlu berlatih dengan tekun dalam operasi pembagian. Siswa belum mampu membedakan tumbuhan dikotil dan monokotil. Nah, di sini pentingnya sekolah (guru) menjalin komunikasi dengan orangtua. Tingkat pendidikan orangtua siswa sangat heterogen, sehingga tidak semua orangtua mudah memahami rapor tanpa angka. Sebagian besar orangtua mungkin asing dengan istilah tumbuhan dikotil dan monokotil. Sekolah perlu memberi penjelasan kepada orangtua terkait pencapaian akademik siswa. Hal ini berbeda dengan nilai rapor yang berisi angka - angka. Ketika anak mendapat nilai 6 dalam pelajaran matematika, orangtua sudah bisa memahami kemampuan anak.
Ketiga, kebijakan siswa pasti naik kelas perlu segera disosialisasikan kepada siswa dan orangtua. Selama ini anak selalu didorong oleh orangtuanya untuk belajar dengan tekun supaya naik kelas dan memperoleh nilai baik. Kebijakan siswa pasti naik kelas jangan sampai membuat anak menjadi malas belajar. Jangan sampai anak memiliki pemikiran, untuk apa belajar toh pasti naik kelas ? Sekolah perlu mengkondisikan supaya anak tetap tekun belajar. Di samping itu, sekolah juga perlu terus menanamkan semangat kompetisi pada anak.
Keempat, untuk siswa yang belum memahami pelajaran, meskipun naik kelas, akan diberikan remedial. Jadi, guru harus mengikuti perkembangan anak sehingga mengetahui beberapa topik yang belum dikuasai. Hal ini merupakan tantangan profesionalisme guru sebagai pendidik. Setiap anak memiliki bakat dan kemampuan yang berbeda dalam menyerap materi pelajaran, sehingga setiap anak boleh jadi mengikuti program remedial yang berbeda-beda. Singkatnya, program remedial pasti akan menambah beban pekerjaan guru.
Sebelum kebijakan rapor tanpa angka diberlakukan, sejumlah persoalan yang mungkin timbul perlu diantisipasi. Kita berharap se moga kebijakan baru tidak menimbulkan persoalan baru.
Bambang Ruwanto, Dosen Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA UNY
http://krjogja.com/liputan-khusus/opini/2461/rapor-tanpa-angka.kr
Ketiga aspek ini terus dikembangkan sejak SD hingga perguruan tinggi, dengan penekanan berbeda. Mengutip pendapat Marzano (1985) dan Bruner (1960), dalam Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013 dijelaskan bahwa pembelajaran di jenjang SD lebih menekankan pada aspek sikap. Pada jenjang yang lebih tinggi, aspek pembentukan sikap ini porsinya semakin dikurangi. Sebaliknya, setelah jenjang SD aspek keterampilan dan pengetahuan semakin ditingkatkan. Oleh
karena itu, pada jenjang SD pembentukan sikap seperti menerima, menjalankan, menghargai, dan mengamalkan harus lebih diutam kan. Pada jenjang SD aspek pengetahuan dan keterampilan memiliki porsi yang sangat sedikit. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa pelajaran IPA di SD diajarkan secara tematik-integratif.
Ada sejumlah persoalan yang perlu diantisipasi terkait kebijakan rapor tanpa angka. Pertama, nilai rapor selama ini dapat digunakan sebagai pembeda kemampuan akademik siswa. Artinya, nilai rapor menunjukkan peta kemampuan siswa di kelas. Siswa yang memiliki nilai rapor 8 pada pelajaran matematika, ia memiliki kemampuan matematika yang lebih baik daripada siswa yang memiliki nilai rapor 6. Siswa dapat memahami nilai- nilai yang ada di rapor dengan mudah. Jika penilaian rapor berbentuk deskriptif-naratif, guru harus pandai membuat narasi. Guru harus menyiapkan diri menjadi narator yang baik. Narasi yang dibuat juga harus mencerminkan kualitas akademik siswa. Setiap siswa memiliki karakteristik tertentu, sehingga narasi setiap siswa harus unik, berbeda satu sama lain.
Kedua, sebagaimana dijelaskan Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemdikbud, Ramon Mohandas, penilaian narasi dalam rapor harus menggunakan bahasa positif mengingat siswa SD masih dalam kategori usia emas. Bahasa narasi harus mampu memberi motivasi siswa untuk meningkatkan kemampuan akademiknya. Meskipun demikian, bentuk narasi harus mencerminkan kemampuan siswa dalam menguasai materi pembelajaran.
Artinya, meskipun disajikan dengan bahasa positif, narasi perlu menyajikan kelebihan dan kekurangan siswa. Dalam setiap pelajaran perlu disebutkan beberapa topik yang sudah/belum dikuasai siswa. Misalnya, siswa sudah bisa melakukan operasi perkalian namun masih perlu berlatih dengan tekun dalam operasi pembagian. Siswa belum mampu membedakan tumbuhan dikotil dan monokotil. Nah, di sini pentingnya sekolah (guru) menjalin komunikasi dengan orangtua. Tingkat pendidikan orangtua siswa sangat heterogen, sehingga tidak semua orangtua mudah memahami rapor tanpa angka. Sebagian besar orangtua mungkin asing dengan istilah tumbuhan dikotil dan monokotil. Sekolah perlu memberi penjelasan kepada orangtua terkait pencapaian akademik siswa. Hal ini berbeda dengan nilai rapor yang berisi angka - angka. Ketika anak mendapat nilai 6 dalam pelajaran matematika, orangtua sudah bisa memahami kemampuan anak.
Ketiga, kebijakan siswa pasti naik kelas perlu segera disosialisasikan kepada siswa dan orangtua. Selama ini anak selalu didorong oleh orangtuanya untuk belajar dengan tekun supaya naik kelas dan memperoleh nilai baik. Kebijakan siswa pasti naik kelas jangan sampai membuat anak menjadi malas belajar. Jangan sampai anak memiliki pemikiran, untuk apa belajar toh pasti naik kelas ? Sekolah perlu mengkondisikan supaya anak tetap tekun belajar. Di samping itu, sekolah juga perlu terus menanamkan semangat kompetisi pada anak.
Keempat, untuk siswa yang belum memahami pelajaran, meskipun naik kelas, akan diberikan remedial. Jadi, guru harus mengikuti perkembangan anak sehingga mengetahui beberapa topik yang belum dikuasai. Hal ini merupakan tantangan profesionalisme guru sebagai pendidik. Setiap anak memiliki bakat dan kemampuan yang berbeda dalam menyerap materi pelajaran, sehingga setiap anak boleh jadi mengikuti program remedial yang berbeda-beda. Singkatnya, program remedial pasti akan menambah beban pekerjaan guru.
Sebelum kebijakan rapor tanpa angka diberlakukan, sejumlah persoalan yang mungkin timbul perlu diantisipasi. Kita berharap se moga kebijakan baru tidak menimbulkan persoalan baru.
Bambang Ruwanto, Dosen Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA UNY
http://krjogja.com/liputan-khusus/opini/2461/rapor-tanpa-angka.kr
Ditulis oleh: Andrean Perdana
Ki Hajar Dewantara, membedakan lingkungan pendidikan menjadi tiga, dan kita kenal dengan Tri Pusat Pendidikan, yaitu :
a.) Keluarga
Kalau kita tinjau dari ilmu sosiologi, keluarga adalah bentuk masyarakat
kecil yang terdiri dari beberapa individu yang terikat oleh suatu
keturunan, yakni kesatuan dari bentuk-bentuk kesatuan masyarakat.
Keluarga, tempat anak diasuh dan dibesarkan, berpengaruh besar terhadap
pertumbuhan dan perkembangannya, terutama keadaan ekonomi rumah tangga
serta tingkat kemampuan orangtua dalam merawat yang sangat besar
pengaruhnya terhadap pertumbuhan jasmani anak. Sementara tingkat
pendidikan orang tua juga besar pengaruhnya terhadap perkembangan
rohaniah anak, terutama kepribadian dan kemajuan pendidikannya.
Anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang mapan, umumnya sehat
dan cepat pertumbuhan badannya dibandingkan dengan anak dari keluarga
yang tidak mampu. Demikian pula anak yang orang tuanya berpendidikan
akan menghasilkan anak yang berpendidikan pula.
b.) Sekolah
Sekolah memegang peranan penting dalam pendidikan karena pengaruhnya
besar sekali pada jiwa anak. Maka disamping kelurga sebagai pusat
pendidikan, sekolah pun mempunyai fungsi sebagai pusat pendidikan untuk
pembentukan pribadi anak.
Sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan anak terutama untuk kecerdasannya. Anak yang tidak pernah
sekolah akan tertinggal dalam berbagai hal. Sekolah sangat berperan
dalam meningkatkan pola pikir anak, karena di sekolah mereka dapat
belajar bermacam-macam ilmu pengetahuan. Tinggi rendahnya pendidikan dan
jenis sekolahnya turut menentukan pola pikir serta kepribadian anak.
Anak yang memasuki sekolah guru berbeda kepribadiannya dengan anak yang
masuk STM. Demikian pula yang tamat dari sekolah tinggi akan berbeda
pola pikirnya dengan orang yang tidak bersekolah.
c.) Masyarakat
Masyarakat adalah lingkungan tempat tinggal anak. Mereka juga termasuk
teman-teman anak di luar sekolah. Kondisi orang-orang di lingkungan desa
atau kota tempat tinggal anak juga turut mempengaruhi perkembangan
jiwanya.
Anak-anak yang dibesarkan di kota berbeda pola pikirnya dengan anak yang
tinggal di desa. Anak kota umumnya lebih bersikap dinamis dan aktif
bila dibandingkan anak desa yang cenderung bersikap statis dan lamban.
Semua perbedaan sikap dan pola pikir di atas adalah akibat pengaruh dari
lingkungan masyarakat yang berbeda antara kota dan desa.
http://www.yuwonoputra.com/2013/07/lingkungan-tri-pusat-pendidikan-menurut.html
Hakikat Pancasila
Kedudukan dan fungsi Pancasila bilamana dikaji secara ilmiah memliki pengertian pengertian yang luas, baik dalam kedudukannya sebagai dasar Negara, sebagai pandangan hidup bangsa, sebagai ideologi bangsa dan Negara, sabagai kepribadian bangsa bahkan dalam proses terjadinya terdapat berbagai macam terminologi yang harus didesktipsikan secara objektif. Selain itu, pancasila secara kedudukan dan fungsinya juga harus dipahami secara kronologis.
Oleh karena itu, untuk memahami Pancasila secara kronologis baik menyangkut rumusannya maupun peristilahannya maka pengertian Pancasila tersebut meliputi lingkup pengertian sebagai berikut :
Pengertian Pancasila secara etimologis
Secara etimologis istilah “Pancasila” berasal dari Sansekerta dari India (bahasa kasta Brahmana) adapun bahasa rakyat biasa adalah bahasa Prakerta. Menurut Muhammad Yamin, dalam bahasa sansekerta perkataan “Pancasila” memilki dua macam arti secara leksikal yaitu :
“panca” artinya “lima”
“syila” vokal I pendek artinya “batu sendi”, “alas”, atau “dasar”
“syiila” vokal i pendek artinya “peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau yang senonoh”
Kata-kata tersebut kemudian dalam bahasa Indonesia terutama bahasa Jawa diartikan “susila “ yang memilki hubungan dengan moralitas. Oleh karena itu secara etimologis kata “Pancasila” yang dimaksudkan adalah adalah istilah “Panca Syilla” dengan vokal i pendek yang memilki makna leksikal “berbatu sendi lima” atau secara harfiah “dasar yang memiliki lima unsur”. Adapun istilah “Panca Syiila” dengan huruf Dewanagari i bermakna 5 aturan tingkah laku yang penting.
Pengertian Pancasila secara Historis
Proses perumusan Pancasila diawali ketika dalam sidang BPUPKI pertama dr. Radjiman Widyodiningrat, mengajukan suatu masalah, khususnya akan dibahas pada sidang tersebut. Masalah tersebut adalah tentang suatu calon rumusan dasar negara Indonesia yang akan dibentuk. Kemudian tampilah pada sidang tersebut tiga orang pembicara yaitu Mohammad Yamin, Soepomo dan Soekarno.
Pada tanggal 1 Juni 1945 di dalam siding tersebut Ir. Soekarno berpidato secara lisan (tanpa teks) mengenai calon rumusan dasar negara Indonesia. Kemudian untuk memberikan nama “Pancasila” yang artinya lima dasar, hal ini menurut Soekarno atas saran dari salah seorang temannya yaitu seorang ahli bahasa yang tidak disebutkan namanya.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, kemudian keesokan harinya tanggal 18 Agustus 1945 disahkannya Undang-Undang Dasar 1945 termasuk Pembukaan UUD 1945 di mana didalamnya termuat isi rumusan lima prinsip atau lima prinsip sebagai satu dasar negara yang diberi nama Pancasila.
Sejak saat itulah perkataan Pancasila menjadi bahasa Indonesia dan merupakan istilah umum. Walaupun dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 tidak termuat istilah “Pancasila”, namun yang dimaksudkan Dasar Negara Republik Indonesia adalah disebut dengan istilah “Pancasila”. Hal ini didasarkan atas interpretasi historis terutama dalam rangka pembentukan calon rumusan dasar negara, yang secara spontan diterima oleh peserta sidang secara bulat.
Pengertian Pancasila secara Terminologis
Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 itu telah melahirkan negara Republik Indonesia. Untuk melengkapi alat-alat perlengkapan negara sebagaimana lazimnya negara-negara yang merdeka, maka panitia Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) segera mengadakan sidang. Dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945 telah berhasil mengesahkan UUD negara Republik Indonesia yang dikenal dengan UUD 1945. Adapun UUD 1945 terdiri atas dua bagian yaitu Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal UUD 1945 yang berisi 37 pasal, 1 aturan Aturan Peralihan yang terdiri atas 4 pasal dan 1 Aturan Tambahan terdiri atas 2 ayat.
Dalam bagian pembukaan UUD 1945 yang terdiri atas empat alinea tersebut tercantum rumusan Pancasila sebagai berikut :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 inilah yang secara konstisional sah dan benar sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang disahkan oleh PPKI yang mewakili seluruh rakyat Indonesia.
http://pancasila2013.weebly.com/pengertian-pancasila.html
Pancasila merupakanpandangan hidup bangsa, dasar negara Republik
Indonesia, dan sebagai ideologi nasional. Seluruh warga negara kesatuan
Republik Indonesia sudah seharusnya mengetahui, mempelajari, mendalami
dan mengembangkannya serta mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari –
hari dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan
kemampuan masing-masing individu. Yang paling penting kita sebagai warga
negara Indonesia seharusnya bangga terhadap bangsa sendiri. Dengan
merealisasikan sebuah teori atau pengertian dari pancasila
tersebut.Sehingga adanya penerapan Pancasila oleh diri kita di dalam
masyarakat, bangsa dan negara, kita dapat mengetahui hal – hal yang
sebelumnya kitak tidak tahu menjadi tahu. Pancasila juga merupakan
pandangan hidup kita dalam bermasyarakat. Pancasila telah ada dari dulu
dalam segala bentuk kehidupan rakyat indonesia, terkecuali bagi mereka
yang tidak Pancasialis. Dalam hal ini pancasila dipergunakan sebagai
petunjuk hidup atau perilaku dalam kehidupan sehari – hari. Dengan kata
lain, Pancasila digunakan untuk petunjuk arah semua kegiatan atau
aktivitas kehidupan dalam bermasyarakat di segala bidang. Semua tingkah
laku dan perbuatan setiap warga indonesia harus dijiwai dan merupakan
pancaran dari semua sila yang ada dalam pancasila tersebut. Pada zaman
reformasi pada saat ini pengimplementasian Pancasila sangat dibutuhkan
oleh masyarakat, karena di dalam pancasila terkandung nilai luhur bangsa
indonesia yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Selain itu, di zaman
globalisasi begitu cepat menjangkau seluruh dunia termasuk negara
indonesia. Gelombang demokrasi dan globalisme telah memasuki cara
pandang dan cara berfikir masyarakat indonesia untuk menjadikan
pancasila menjadi tidak ada implementasi dalam masyarakat. Implementasi
Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat pada hakikatnya merupakan suatu
realisasi praktis untuk mencapai tujuan Bangsa.
http://research.amikom.ac.id/index.php/DTI/article/view/5360
Sambutan Mendikbud Anies Baswedan pada
Hari Guru (25/11/2014) menarik disimak. Inilah pidato seorang menteri
yang di dalam dirinya tecermin ”jiwa keguruan”. Sapaannya terhadap guru
pada seluruh teks itu bukan semata-mata karena pidatonya ditulis dalam
kaitan Hari Guru, melainkan di dalamnya terpancar keikhlasan menempatkan
sosok guru di dalam pikiran dan hatinya. ”Kita harus mengubah diri,
kita harus meninggikan dan memuliakan guru. Pemerintah di semua level
harus menempatkan guru dengan sebaik-baiknya dan menunaikan secara
tuntas semua kewajibannya bagi guru,” demikian antara lain Mendikbud.
Ungkapan itu menegaskan bahwa Guru
pada kepemimpinan Baswedan sebagai Mendikbud hendak diposisikan sebagai
pusat dalam dunia pendidikan. Guru akan kembali ditulis dengan G
(kapital) seperti pernah terjadi dalam sejarah, yakni sebagai sosok yang
”digugu dan ditiru” (diteladani), tentu dengan penyesuaian ruang dan
waktu kini. Hari ini, guru yang layak diteladani adalah ia yang memiliki
kapabilitas diri kreatif. Diri kreatif adalah pribadi yang memiliki
keberanian membebaskan pikirannya dari berbagai kungkungan.
Basis kreativitas, sebagaimana disebut
IP Pavlov yang dielaborasi Toeti Heraty (STA, 1983) adalah sebuah
kondisi subyek berani melakukan tindakan restrukturisasi. Berani keluar
dari belenggu konvensi. Mengendalikan sistem, bukan sebaliknya.
Guru sebagai subyek
Ketika guru didudukkan pada posisi
utama, hal-hal di luar guru tentu menjadi nomor dua. Situasi ini dengan
sendirinya juga meniscayakan bahwa pembangunan karakter guru menjadi
yang utama. Jika diyakini bahwa pendidikan yang baik itu membebaskan,
pihak pertama yang harus ”dibebaskan” adalah guru. Tak mungkin siswa
merasa terbebas jika gurunya sendiri terbelenggu. Guru yang terbelenggu
cenderung membelenggu siswa.
Tantangannya, pada saat yang sama
subyek selalu merupakan hasil ”pemanggilan” sistem. Althusser (1984)
menyebut dua apparatus/lembaga pembentuk subyek dalam negara, yakni
repressive state apparatus (RSA) dan ideological state apparatus (ISA).
RSA adalah lembaga yang menginterpelasi subyek secara represif. Ini
persis dilakukan rezim militeristik Orde Baru saat menanamkan
nilai-nilai Pancasila kepada warga. Rakyat dipancasilakan dengan
cara-cara yang justru tak berpancasila. Sementara lembaga seperti rumah
ibadah, media massa, dan sekolah disebut Althusser sebagai lembaga
negara yang memanggil subyek secara persuasif. Lembaga ini bersifat
menggoda, menjadikan individu sebagai si Pulan atau si Palen tanpa
merasa ada yang mengajarkannya.
Berdasarkan teori itu, posisi guru
menjadi kontradiktif. Di satu sisi ia ditempatkan pada lembaga yang
diandaikan bekerja secara persuasif, tetapi pada sisi lain ia sendiri
sosok yang dibentuk oleh sistem yang dengan caranya sendiri bersifat
represif. Dengan demikian, guru menjadi predikat dengan subyek yang
”dibelah” terus-menerus. Di satu sisi ia dituntut menjadi pribadi
berbudi, tetapi pada tepi lain pribadinya diacak-acak oleh sistem tak
berbudi. Guru pun jadi sosok yang ambivalen, terbelah (divided self). Dengan demikian, secara filosofis dan psikologis, guru di negeri ini menjadi metafora dari tragedi subyek kemanusiaan.
Sistem yang tak berbudi sedemikian
faktanya belum berubah sejak awal rezim Orde Baru hingga kini. Bentuk
konkret pelaksanaan sistem ini adalah pemberlakuan kurikulum yang
terlalu jauh mengacak-acak cara berpikir guru. Kurikulum menjadi
penjelmaan negara yang menakutkan. Ia menjadi sebuah ”kontrol disiplin”
yang terus-menerus mengawasi guru. Walhasil, secara filosofis dan
psikologis, guru sesungguhnya tak pernah mengajar dengan subyektivitas
dirinya yang diandaikan sebagai diri yang kreatif. Sistemlah (kurikulum)
yang mengajar. Hal ini belum ditambah dengan kehadiran buku ajar yang
juga diatur sedemikian ketat oleh penguasa.
Kurikulum yang sofistik
Bertolak dari analisis tersebut,
perubahan kurikulum yang selalu dilakukan setiap penggantian menteri
hanya dimungkinkan oleh dua alasan. Pertama, kegagalan tiap menteri-baru
dalam melihat mekanisme kerja sistem. Alih-alih memahami, menteri itu
sendiri menjadi individu yang dikendalikan sistem sehingga ia hanya bisa
melihat lapis permukaan sistem yang akibatnya hanya bisa bekerja secara
administratif. Ia bekerja tanpa modal ideologi.
Kedua, kesengajaan dengan maksud mempertahankan kekuasaan (status quo).
Di situ, perubahan hanyalah pengalihan dengan cara seolah-olah memberi
harapan baru untuk perubahan. Ini adalah sisi lain kezaliman kekuasaan
di hadapan rakyatnya. Di situ, tim perumus kurikulum tidak lain adalah
para sofis. Sofisme, sebagaimana dijelaskan A Setyo Wibowo (Basis, No 11-12/63/2014) adalah cara berpikir dan berargumentasi yang njlimet, canggih, sangat rasional dan pintar, tetapi sebenarnya palsu dan membuat orang bingung.
Harapan baru tapi palsu sedemikian
tampak jelas pada Kurikulum 2013 yang kontroversial itu. Saya tak ingin
menambah ulasan kritis terhadapnya karena sudah terlalu banyak yang
melakukannya, termasuk saya sendiri. Hal yang perlu disampaikan,
kurikulum ini disebut perumusnya sebagai model yang bisa menjawab
tantangan abad ke-21. Namun, ambisi ini sekaligus menempatkan guru
seolah-olah tak tahu masalah abad ke-21 sehingga mereka perlu diberi
petunjuk yang rigid, otaknya perlu diarahkan hingga pada cara-cara meyakini keberadaan Tuhan.
Akibatnya sudah bisa dibaca, ke depan
guru akan kian diatur. Subyek guru akan kian lesap. Hal ini berarti
Kurikulum 2013 akan kian menjauhkan cita-cita Mendikbud sebagaimana
dikutip di awal. Dari sisi substansinya sendiri, sebagaimana dikatakan
Kiai Maman Imanulhaq, kurikulum bertendensi religius itu justru
meninggalkan nilai-nilai religiositas, kecuali jika yang dimaksud
religiositas hanya hal-hal permukaan. Kurikulum 2013, kata pengasuh
Pondok Pesantren Al-Mizan Majalengka, yang kini anggota DPR (2014-2019)
itu, mencerminkan nilai religiositas simbolik yang meninggalkan
substansi ajaran agama. Walhasil, Kurikulum 2013 menjadi kurikulum
sofistik, mengelabui.
Posisi Kurikulum 2013 sedemikian
sesungguhnya juga telah melanggar UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003. Pasal
38 Ayat 1 jelas mengatur bahwa pemerintah hanya menetapkan kerangka
dasar dan struktur kurikulum (Standar Isi), sedangkan kurikulumnya
”dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau
satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan
supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota
untuk pendidikan dasar dan Propinsi untuk pendidikan menengah” (ayat 2).
Jelas UU itu memosisikan guru sejalan
dengan cita-cita Mendikbud. Di sekolah, guru dijadikan subyek yang
leluasa menyalurkan potensi dan kemampuan kreatifnya. Saat siswa bertemu
dengan subyek guru seperti itu, sekolah niscaya akan jadi miniatur
dunia pembebasan. Jadi, tunggu apa lagi, Pak Menteri. Untuk memosisikan
guru pada kursi utama pendidikan, Anda tinggal melaksanakan UU itu.
Ubahlah posisi guru dengan kebijakan, bukan hanya dengan kata-kata
sebagaimana dilakukan pejabat sebelum Anda. Nasi belum jadi bubur.
Kurikulum 2013 masih bisa dibatalkan. Dengan ini cukup sudah dunia
pendidikan dikelabui penguasa. Ke depan, jangan ada lagi rezim
kurikulum. Maka, mari akhiri Kurikulum 2103 dan mulailah sekolah!
Acep Iwan Saidi ; Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB
KOMPAS, 02 Desember
http://widiyanto.com/mengakhiri-kurikulum-2013/#more-467
Navigation